Kita bisa lihat suburnya industri rokok di Indonesia salah satunya karena pemerintah membebankan harga dan pajak yang lebih rendah dibandingkan negara lain bagi industri rokok. WHOpun dapat menilai jika Indonesia terlalu takut menaikkan pajak dan cukai rokok. Seharusnya pemerintah Indonesia berani menaikkan harga dan pajak rokok, serta memperketat regulasi yang ada tentang rokok, seperti Thailand, Selandia Baru, Australia atau Singapura dan Negara lainnya. Bahkan tokoh WHO yang memiliki inisiatif Free Tobacco pun angkat bicara tentang ini dimana Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota Region Asia Tenggara yang belum meratifikasi (menandatangani dan mengesahkan) Framework Convention of Tobacco Control (FCTC). FCTC adalah suatu traktat internasional berbasis data ilmiah yang menegaskan kembali hak semua orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. FCTC dibuat untuk menghadapi globalisasi epidemi tembakau. Salah satu ketentuan yang terdapat dalam FCTC adalah pasal 6 mengenai upaya penanganan harga dan pajak untuk menguragi permintaan tembakau. Saat ini Indonesia belum menjadi anggota FCTC dan masih takut menaikkan harga pajak terhadap Industri rokok yang ada, Itulah yang menyebabkan Indonesia sebagai tempat yang efektif dan bahkan bagaikan surga industry rokok. Upaya peningkatan harga dan pajak tembakau adalah cara penting dan efektif untuk mengurangi konsumsi tembakau. Praktik terbaik menurut Dr Bettcher adalah penentuan pajak di atas 75 persen harga eceran. Kita dapat ketahui tingkat cukai di Indonesia adalah sekitar 53 persen untuk merek rokok paling laku, namun harga jualnya rendah sekitar Rp 10.000 untuk sebungkus berisi 20 batang rokok paling laku. Seharusnya dengan menaikkan harga pajak rokok justru menguntungkan Indonesia dari segi kesehatan dan ekonomi, karena secara ekonomi missal penghasilan Negara akan meningkat dan secara kesehatan konsumsi rokok rakyat Indonesia menurun harusnya. Selain masalah harga dan pajak, sebenarnya yang menjadi masalah adalah nasib petani tembakau. Namun petani tembakau tidak akan kehilangan pekerjaan, karena bila dihitung penghasilan yang diperoleh oleh petani tembakau jauh lebih kecil dibandingkan dengan petani yang lain. Bahkan petani masih bisa beralih ke jenis pertanian lain selain tembakau juga, apalagi Negara Indonesia merupakan Negara Agraris juga. Upaya peningkatan harga dan pajak rokok telah berhasil dilakukan oleh beberapa negara seperti Thailand, Selandia Baru, Australia dan Singapura. Negara-negara tersebut telah terbukti bisa menaikan standar kesehatan dan ekonomi dengan menaikkan harga dan pajak rokok. Harusnya Indonesia lebih berani mengambil kebijakan, dan jangan hanya memalukan tindakan promotif atau preventif tapi bagaimana menggunakan sebuah proses yang lebih baik. Memang Negara kita bukan Negara yang kaya tapi berikan ketegasan pada sebuah proses bagaimana mewujudkan Indonesia sehat yang mana slogan yang santer dipublikasikan.Saatnyalah…
Jumat, 29 Oktober 2010
Rabu, 27 Oktober 2010
Sistem Pembiayaan Indonesia,Saatnyalah berpikir pada sebuah sistem!
Melihat sejenak bagaimana sistem pembiayaan kesehatan (Health Finance) terutama sistem kapitasi dalam dunia kesehatan. Kita ketahui bahwa sistem pembiayaan ada 2 hal yaitu:
1. Fee for service, seperti datang berobat terus bayar.
2. Health insurance, datang berobat dan yang membayar pihak asuransi (pihak ketiga).
Sebenarnya, Sistem Kesehatan kita sedang mengalami banyak perubahan. Perubahan pertama adalah perubahan di dalam penyelenggaraan pelayanan (delivery system) untuk mengurangi beban pembiayaan pemerintah. Peran serta masyarakat semakin didorong di dalam penyediaan pelayanan kesehatan, khususnya yang bersifat kuratif. Bahkan rumah sakit yang bersifat pencari laba telah diberikan ijin beroperasi di Indonesia. Perubahan kedua adalah perubahan di dalam cara pembiayaan kesehatan dari yang tadinya bersifat individual ke kelompok dengan melalui mekanisme asuransi kesehatan. Termasuk pada perubahan kedua adalah terbukanya kesempatan
penyelenggaraan asuransi komersial yang berpijak pada UU No. 2/1992, penyelenggaraan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang berdasarkan UU No. 3/1992, dan penyelenggaraan program JPK Mayarakat (JPKM) yang dituangkan pada Pasal 66 UU No. 23/1992. Program JPK Jamsostek dan JPKM secara eksplisit telah menggariskan pembayaran sistem kapitasi kepada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) / Health Care Provider di dalam rangka pengendalian biaya kesehatan. Penyelenggaraan JPK pegawai negeri sipil, yang kini dikenal dengan pelayanan PT Asuransi Kesehatan Indonesia, telah terlebih dahulu menggunakan sistem pembayaran kapitasi.
Kapitasi berasal dari kata kapita yang artinya Kepala. Kepala dalam hal ini berarti orang atau peserta atau anggota. Sistem Kapitasi berarti cara perhitungan berdasarkan jumlah kepala yang terikat dalam kelompok tertentu. Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi merupakan pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga(dalam hal ini Bapel) tersebut, Yaitu dengan membayar di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu.
Konsep asuransi kesehatan sebenarya sudah dikenal pada msyarakat Cina kuno yang membayar dokter waktu sehat dan tidak membayarnya waktu sakit mereka berobat. Di jaman Mesir kuno, mekanisme asuransi yang merupakan suatu sistem tanggung jawab bersama untuk sebuah bencana yang akan menimpa suatu komunitas sudah dipergunakan. Secara lebih terstruktur mekanisme asuransi dikembangkan di Belanda pada tahun 1663 diamana pemerintah memberikan asuransi cacat pada tentara. Sedangkan asuransi kecelakaan dikembangkan di Inggris pada tahun 1848 oleh Perusahaan Asuransi Kereta Api (HIAA, 1995). Akan tetapi asuransi kesehatan dalam bentuk modern baru berkembang pesat di awal abad ke 20 ini dan telah meluas begitu cepat ke berbagai penjuru dunia. Kini lebih dari 80 negara di Dunia menyelenggarakan asuransi kesehatan secara terstruktur (Roemer,1991). Program JPK boleh dikatakan baru mendapatkan kepopulerannya pada dua dekade yang lalu. Dalam perkembangannya, mekanisme asuransi kesehatan telah berproliferasi sehingga kita dapatkan berbagai bentuk di pasaran dunia. Bentuk modern pada awal perkembangannya umumnya berupa “Transfer resiko” dengan pertanggungan penggantian biaya (indemnitas). Resiko yang dipertanggungkan. mulanya terbatas pada suatu resiko tertentu, seperti kecelakaan diri, perawatan rumah sakit, dan tindakan bedah. Kemudian pertanggungan berkembang menjadi pertanggungan komprehensif tanpa manajemen utilisasi. Model asuransi kesehatan tersebut kemudian menimbulkan masalah pembiayaan karena tejadi overutilisasi dan tingginya inflasi biaya kesehatan akibat moral hazard yang tinggi. Hal itu dapat dimengerti karena sisakit yang memiliki asuransi tidak menanggung beban biaya tatkala mereka mengkonsumsi pelayanan kesehatan. Apalagi jika PPK dibayar dengan sistem Fee-for Service dan konsumen tidak memiliki informasi yang cukup (informasi asimetri), maka dengan mudah provider menciptakan demand baru (demand creation atau suplay induce demand). Kombinasi antara konsumen yang praktis tidak membayar, pembayaran FFS, dan informasi asimetri sangat sulit mengendalikan biaya. Justeru yang teterjadi adalah insentif meningkatkan biaya.
Sebenarnya dalam sistem Kapitasi ini memang dalam hal ini Menteri Kesehatan dan Menteri dalam Negeri pada tahun dulu ±1988. Dimana dari gaji pegawai negeri yang ada akan dipotong 2% dari gaji yang ada tanpa melihat perbedaan gaji. Ada beberapa manfaat adanya sistem kapitasi ini yaitu
1. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan diberikan
2. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan, sehingga dapat dilakukan :
1. Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota
2. Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan
3. Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
4. yang bermutu, efektif dan efisien
5. Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu
6. Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan masyarakat.
Namun dapat kita lihat juga sisis negatifnya seperti pertama, jika kapitasi yang diberikan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, PPK akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih cepat dan resiko menjadi lebih kecil. Dengan demikian, PPK tingkat pertama dan rawat jalan rujukan dapat mengantongi surplus yang dikehendaki. Kedua, mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk melayani pasien non JPK yang "dinilai" membayar lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak JPK pada akhinya dapat memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier menjadi lebih mahal. Ketiga, tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil tetapi untuk jangka panjang hal ini akan merugikan PPK itu sendiri.
Negara kita memang bukan negara yang kaya, tapi jika kita dapat pikir bahwa jika negara selalu memberikan slogan gratis dalam pemerintahan bukan tidak mungkin bahwa utang negara kan bertambah secara logika. Sehingga dalam hal ini dapat kita llihat bahwa asuransi kesehatan atau sistem kapitasi yang ada memang merupakan respons yang rasional untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan akibat sifat ketidak-pastian akan kebutuhan pelayanan kesehatan. Namun juga tak lepas adanya dinamika yang ada dalam proses ini. Mungkin ini adalah proses kesehatan yang ada dan bukan tidak mungkin suatu saat akan ada sistem yang lebih baik dan dapat menjamin pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Reference : Health Finance, Health Insurance
Reference : Health Finance, Health Insurance
Senin, 25 Oktober 2010
Evaluasi kerja 1 tahun Bidang Farmasi, Tingkatkan dan Tegas!
Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalty, sedangkan obat paten yaitu obat yang masih memiliki hak paten, biasanya selama 20 tahun, setelah 20 tahun baru boleh di produksi oleh perusahaan lain. Dalam hal ini Pemerintah boleh saja mengklaim mutu obat generik tak kalah bagus dari obat bermerek. Namun kenyataannya penggunaannya belum maksimal, salah satunya karena beberapa dokter masih meragukan mutu obat yang dianggap murahan itu.
Salah satu kendala menurut Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan (Sri Indrawati, Ap) dalam evaluasi kerja 1 tahun kemarin menyebutkan masih banyak beberapa dokter yang belum percaya pada obat generik. Hal ini bisa jadi dinamika dalam kesehtan Indonesia yang ada saat ini. Terlihat kesan murahan kadang-kadang muncul justru karena harganya memang sangat murah. Untuk itu dalam setahun ini Kemenkes banyak melakukan rasionalisasi harga, yang menyebabkan harga beberapa jenis obat generik justru mengalami kenaikan.
Pada awal tahun 2010, obat generik yang mengalami kenaikan harga berjumlah 33 jenis, jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2007 yang hanya 6 jenis. Sebagian besar merupakan obat suntik yang dinilai terlalu murah sehingga tidak banyak industri yang berminat untuk memproduksinya.
Meski banyak yang mengalami kenaikan harga, jenis obat generik yang mengalami penurunan tercatat masih lebih banyak. Tahun ini 106 jenis obat generik telah diturunkan harganya, lebih banyak dibandingkan tahun 2007 yang hanya 61 jenis.
Namun masalah harga dan mutu bukan satu-satunya kendala dalam menggalakkan pemakaian obat generik. Menurut beliau (Sri Indrawati, Ap), 30 persen penyakit memang belum bisa diatasi dengan obat generik karena obatnya masih dilindungi paten. Dalam hal ini seperti contoh obat-obat kanker termasuk jenis obat yang belum banyak tersedia versi generiknya, jadi mau tidak mau tidak mau harus memakai obat paten yang ada.
Pada awal tahun 2010, obat generik yang mengalami kenaikan harga berjumlah 33 jenis, jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2007 yang hanya 6 jenis. Sebagian besar merupakan obat suntik yang dinilai terlalu murah sehingga tidak banyak industri yang berminat untuk memproduksinya.
Meski banyak yang mengalami kenaikan harga, jenis obat generik yang mengalami penurunan tercatat masih lebih banyak. Tahun ini 106 jenis obat generik telah diturunkan harganya, lebih banyak dibandingkan tahun 2007 yang hanya 61 jenis.
Namun masalah harga dan mutu bukan satu-satunya kendala dalam menggalakkan pemakaian obat generik. Menurut beliau (Sri Indrawati, Ap), 30 persen penyakit memang belum bisa diatasi dengan obat generik karena obatnya masih dilindungi paten. Dalam hal ini seperti contoh obat-obat kanker termasuk jenis obat yang belum banyak tersedia versi generiknya, jadi mau tidak mau tidak mau harus memakai obat paten yang ada.
Namun dalam hal ini pemerintah perlunya juga melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pengawasan obat, seperti kita tahu maraknya barang tiruan bahkan obat tak luput dengan ini. Yang paling popular atau sering adalah tiruan dalam obat paten. Bahkan jarang obat generik tiruan, karena jika dalam logika orang memilih keuntungan berlebih daripada sedikit, jadi maka dari itu banyak maraknya obat-obat paten yang tiruan. Memang sekarang Industri farmasi berkembang pesat, sudah barang tentu banyak hal yang negatif, sehingga perlunya pemerintak dalam hal ini termasuk BPOM melakukan pengawasan yang lebih ketat.
Sabtu, 23 Oktober 2010
Tantangan Tenaga medis Indonesia
Kita bisa melihat bahwa sebuah tantangan akan tenaga medis akan tiba seiring berjalannya era Globalisasi ini. Adanya "Free Trade" di dunia sesuai WTO telah diputuskan adanya hal tersebut. yang tertuang dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) akan memudahkan tenaga asing masuk ke Indonesia. Indonesia memiliki tenaga medis yang tidak kalah dengang asing, tapi perlunya ada SDM yang dapat mengembangkan lebih baik yang ada sekarang agar dapat bersaing secara nasional dan Internasional.
Sesuai Peraturan Menkes Nomor 161/Menkes/PER/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Bab II (ditetapkan 28 januari 2010) bahwa tenaga asing atau tenaga medis lulusan luar negeri diperbolehkan adanya bekerja di Indonesia, berdasarkan syarat yang ada. Hanya berbedanya tenaga asing ahrus ada rekomendasi dari pihak asing untuk dapat bekerja di Indonesia. Mungkin kita hanya berpikir tenaga Indonesia tidak ada yang bekerja di luar negeri, tetapi dapat kita tengok sejenak, sekarangpun banyak tenaga asing kita dari Indonesia yang bekerja di luar negeri, hanya tidak terekspose. beberapa bahkan lebij ada beratus dokter Indonesia bekerja di luar negeri. Hanya disini untuk kebijakan tentang tenaga asing yang ke Indonesia mungkin peraturan yang ada kurang ketat atau bahkan perlunya kebijakan yang lebih baik untuk tenaga asing serta pengembangan tenaga Indonesia agar dapat bersaing dengan baik di era Globalisasi.
Sumber :
Sesuai Peraturan Menkes Nomor 161/Menkes/PER/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Bab II (ditetapkan 28 januari 2010) bahwa tenaga asing atau tenaga medis lulusan luar negeri diperbolehkan adanya bekerja di Indonesia, berdasarkan syarat yang ada. Hanya berbedanya tenaga asing ahrus ada rekomendasi dari pihak asing untuk dapat bekerja di Indonesia. Mungkin kita hanya berpikir tenaga Indonesia tidak ada yang bekerja di luar negeri, tetapi dapat kita tengok sejenak, sekarangpun banyak tenaga asing kita dari Indonesia yang bekerja di luar negeri, hanya tidak terekspose. beberapa bahkan lebij ada beratus dokter Indonesia bekerja di luar negeri. Hanya disini untuk kebijakan tentang tenaga asing yang ke Indonesia mungkin peraturan yang ada kurang ketat atau bahkan perlunya kebijakan yang lebih baik untuk tenaga asing serta pengembangan tenaga Indonesia agar dapat bersaing dengan baik di era Globalisasi.
Sumber :
Evaluasi 1 tahun Menteri Kesehatan.
Sejanak kita telah berjalan 1 tahun bersama pemerintahan SBY-Boediono bersama Kabinet Indonesia bersatu II. Mari kita tengok beberapa perkembangan terutama dalam bidang Kesehatan oleh Menteri Kesehatan atau Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih.
Salah satunya dalam kasus Tuberculosis atau TB yang ± 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 di dunia, tapi dalam tahun ini TB di Indonesia mengalami sebuah kemajuan dimana Indonesia menempati ururtan ke-5. Memang secara kasat mata jarak itu tidak begitu jauh, tapi jika kita bayangkan bahwa penyakit ini bisa dibilang sangat mudah penularannya. Sebuah prestasi yang cukup baik di bidang kedokteran.
Selain itu Prestasi lain yang tercapainya bebas tetanus pada ibu dan bayi terutama di regional Jawa dan Bali, dimana mendapat status ini langsung dari pihak WHO pada tanggal 16 September 2010.
Selain Itu, dalam evaluasi kerja 1 tahun kemarin, Menkes juga mengungkap bahwa dalam setahun kinerjanya 82,3 persen persalinan bayi telah dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tetapi, Sayangnya belum semua dilakukan di puskesmas, sebagian masih dilakukan di rumah sehingga risikonya masih tinggi.
Padahal dalam setahun Menkes mengaku telah banyak menambah jumlah fasilitas pelayanan dasar, di antaranya penambahan 197 puskesmas, 2.828 posyandu dan 283 desa siaga. Sedangkan untuk rumah sakit terjadi penambahan 152 unit, 44 di antaranya milik daerah dan sisanya milik swasta.
Jumlah tenaga kesehatan juga mengalami kenaikan cukup besar, yakni 14.353 orang terdiri dari dokter, dokter gigi, dokter gigi spesialis dan bidan. Untuk mendorong pemerataan, kemenkes menyediakan 1.500 beasiswa calon dokter spesialis yang bersedia bertugas di daerah.
Memang jika kita melihat sejenak ada beberapa prestasi yang bisa kita banggakan, dan berharap hanya sampai disini saja, kita tunggu beberapa tahun lagi, “Apa yang akan terjadi dalam dunia kesehatan”, membaik atau memburuk.
Sistem Kesehatan Indonesia
Jika kita melihat sejenak tentang apa itu kesehatan pastilah ada sebuah sistem yang akan mengatur sistem itu. Sistem kesehatan menurut WHO adalah sebuah proses kumpulan berbagai faktor kompleks yang berhubungan dalam suatu negara, yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat pada setiap saat diutuhkan. dalam sebuah sistem harus terdapat unsur-unsur Input, proses, output, feedback, impact dan lingkungan.
Sistem kesehatan yang telah di sahkan sesuai SK Menkes bahwa tujuan yang pasti adalah meningkatkan derajat yang optimal dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan yang sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Aspek yang mempengaruhi pencapaian dan kinerja sistem kesehatan nasional di Indonesia secara singkat dapat kita jelaskan singkat :
Sumber: Sistem Kesehatan Nasional
Sistem kesehatan yang telah di sahkan sesuai SK Menkes bahwa tujuan yang pasti adalah meningkatkan derajat yang optimal dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan yang sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Aspek yang mempengaruhi pencapaian dan kinerja sistem kesehatan nasional di Indonesia secara singkat dapat kita jelaskan singkat :
- Upaya Kesehatan : Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih dirasakan kurang. Memang jika kita pikirkan bahwa masalah Indonesia tidak hanya masalah Kesehatan bahkan lebeih dari sekedar yang kita bayangkan, tapi jika tahu bahwa dalam hal ini kita masih dalam proses dimana bagai sebuah ayunan yang mana pasti akan menemukan titik temu dan kita dapat menunggu, tapi kapankah hal ini...kita tunggu yang lebih baik.
- Pembiayaan Kesehatan : Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau rata-rata antara USD 12-18 per kapita per tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran Organisasi Kesehatan Sedunia yakni paling sedikit 5% dari PDB per tahun. Sementara itu anggaran pembangunan berbagai sektor lain belum sepenuhnya mendukung pembangunan kesehatan
- SDM Kesehatan : Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam pemerataannya masih belum merata, bahkan ada beberapa puskesmas yang belum ada dokter, terutama di daerah terpencil. Bisa kita lihat,rasio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk masih rendah. Produksi dokter setiap tahun sekitar 2.500 dokter baru, sedangkan rasio dokter terhadap jumlah penduduk 1:5000. Produksi perawat setiap tahun sekitar 40.000 perawat baru, dengan rasio terhadap jumlah penduduk 1:2.850. Sedangkan produksi bidan setiap tahun sekitar 600 bidan baru, dengan rasio terhadap jumlah penduduk 1:2.600. Namun daya serap tenaga kesehatan oleh jaringan pelayanan kesehatan masih terbatas.Hal ini bisa menjadi refleksi bagi Pemerintah dan tenaga medis, agar terciptanya pemerataan tenaga medis yang memadai.
- Sumberdaya Obat dan Perbekalan Kesehatan : Industri farmasi di Indonesi saat ini cukup berkembang seiring waktu. Hanya dalam hal ini pengawasan dalam produk dan obat yang ada. Perlunya ada tindakan yang tegas, ketat dalam hal ini.
- Pemberdayaan Masyarakat : Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal ini agar tercapainya Indonesia Sehat 2010 juga dibutuhkan. Sayangnya pemberdayaan masyarakat dalam arti mengembangkan kesempatan yang lebih luas bagi
masyarakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan masih
dilaksanakan secara terbatas. Kecuali itu lingkup pemberdayaan masyarakat masih dalam bentuk mobilisasi masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan, advokasi kesehatan serta pengawasan sosial dalam program pembangunan kesehatan belum banyak dilaksanakan. - Manajemen Kesehatan : Manajemen kesehatan sangatlah berpengaruh juga, karena dalam hal ini yang memanage proses, tetapi keberhasilan manajemen kesehatan sangat ditentukan antara lain oleh tersedianya data dan informasi kesehatan, dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, dukungan hukum kesehatan serta administrasi kesehatan. Jika tidak tersedianya hal ini maka bisa jadi proses manajemen akan terhamnbat atau bahkan tidak berjalan.
Sumber: Sistem Kesehatan Nasional
Langganan:
Postingan (Atom)